Perda Investasi

KEINGINAN Pemerintah Pusat maupun banyak Pemda untuk dapat menjual potensi daerah melalui investasi seringkali tidak diikuti oleh Peraturan Daerah (Perda) yang sesuai. Semangat yang menggebu-gebu tanpa diiringi pemahaman tentang strategi jangka panjang dalam memasarkan potensi daerah seringkali menjebak Pemerintah Daerah (pemda) berlomba-lomba mengeluarkan Perda-perda yang berisi pungutan-pungutan (Pajak atau retribusi) bagi investasi di suatu daerah. Tujuan jangka pendeknya adalah meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah), tetapi kenyataan di lapangan hal itu justru kontraproduktif. Calon investor kemudian membatalkan menanamkan dananya di suatu daerah, karena feasibility study atau studi kelayakan untuk rencana investasi, khususnya untuk aspek finansial hasilnya tidak layak. Tentunya kondisi seperti itu sangat menghambat penciptaan iklim investasi yang sehat di Indonesia.
Rencana pemerintah pusat untuk merevisi atau bahkan membatalkan ribuan Perda yang terkait dengan investasi tetapi justru menghambat masuknya investasi memang suatu langkah positif, sebab keinginan untuk secepatnya memperoleh tambahan pendapatan daerah dengan menerbitkan perda-perda yang bersifat pungutan hanya akan menguntungkan daerah dalam jangka pendek tetapi sangat merugikan dalam jangka panjang. Tentunya perlu kehati-hatian dan kecermatan yang tinggi untuk menelaah perda-perda yang jumlahnya ribuan agar putusan untuk merevisi atau membatalkan perda yang kontraproduktif dengan investasi benar-benar tepat.
Adanya banyak pungutan baik yang resmi (karena didukung Perda) ataupun tidak resmi, bagi pemilik dana yang sudah menanamkan dananya di suatu daerah pasti akan membuat mereka enggan untuk meneruskan investasinya karena biaya operasionalnya menjadi tinggi dan menyulitkan mereka dalam meningkatkan daya saingnya. Apalagi kalau pungutan-pungutan tersebut tidak digunakan untuk memperbaiki infrastruktur yang sangat dibutuhkan untuk menunjang operasional usaha, tetapi hanya untuk membiayai pengeluaran rutin daerah saja. Hal ini pasti akan menjadikan para investor lari dari daerah tersebut.
Untuk itu, merevisi atau bahkan membatalkan Perda yang menghambat investasi hanya merupakan bagian penciptaan iklim investasi yang kondusif. Perlu upaya lainnya untuk dapat menjadikan para investor betah ada di suatu daerah dan ini harus menjadi kesadaran bersama baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, ataupun masyarakat. Karena melalui penciptaan iklim investasi yang kondusif dan kompetitiflah akan dapat menarik para investor menanamkan dananya di Indonesia. Sekarang ini dimata para investor (baik asing maupun lokal), negara Indonesia dirasa sangat ketinggalan dalam memberikan iklim investasi yang baik bagi pemilik dana dibandingkan dengan negara-negara China, Thailand, Malaysia, Singapura bahkan dari negara Kamboja ataupun Vietnam sekalipun. Akibat kurang menariknya iklim investasi yang ditawarkan Indonesia, maka calon investor enggan masuk ke Indonesia bahkan beberapa investor yang sudah ada di Indonesia merelokasi bisnisnya ke negara lain. Masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai dikerjakan oleh Pemerintah sampai saat ini, diantaranya tentang ketenagakerjaan, tingginya pungutan-pungutan di daerah, pengurusan perizinan yang masih lama dan mahal; lemahnya kepastian hukum; dan hambatan-hambatan investasi terkait perpajakan dan bea cukai.
Strategi mengundang investor seharusnya dimulai dari pengidentifikasian potensi daerah dan calon customer (investor). Kemudian perlu disusun jenis-jenis investasi yang potensial untuk dijual kepada investor yang menjadi sasaran. Menyiapkan dan memberikan informasi tentang kebutuhan dan dukungan investasi akan sangat diharapkan para investor. Dan dengan memberikan iklim investasi yang kondusif dan kompetitif akan sangat mendukung percepatan proses masuk dan berkembangnya investasi di suatu daerah. Berkembangnya investasi di daerah melalui berbagai jenis usaha dan bisnis tentunya akan sangat membantu percepatan pembangunan ekonomi daerah. Multiplier effect karena adanya investasi tersebut akan sangat membantu daerah dalam menurunkan tingkat pengangguran, menaikkan pendapatan masyarakat pekerja melalui upah dan gaji; menaikkan pendapatan masyarakat lainnya melalui networking bisnis, menaikkan pendapatan daerah melalui pajak dan retribusi daerah yang proporsional dengan ‘pelayanan’ yang diberikan daerah; serta dapat meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
_________

Mengundang Investor

TARGET pertumbuhan sektor industri nasional tahun 2007 sebesar 7,9% dan tahun 2008 sebesar 8,6% bukanlah target yang dapat dengan mudah dicapai bahkan mustahil dicapai, bila faktor-faktor pendukungnya belum tuntas disiapkan. Perlu kerja sangat keras pemerintah untuk merealisasikan target tersebut, mengingat target pertumbuhan sektor industri tahun 2006 sebesar 6% saja hanya terpenuhi sebesar 5% dan masih banyak Pekerjaan Rumah terkait sektor industri yang belum terselesaikan.

            Penambahan investasi baru baik investasi melalui peningkatan kapasitas maupun perluasan produksi menjadi keharusan jika ingin ada peningkatan di sektor industri. Keluarnya Undang-undang Penanaman Modal (UUPM) sebenarnya dapat menjadi salah satu pendorong masuknya investasi ke Indonesia, tetapi belum adanya aturan pelaksanaannya menjadikan UU PM tersebut masih belum aplikatif. Kondisi di lapangan yang kurang mendukung terciptanya iklim usaha yang baik ditengarai menjadi salah satu penyebab  minimnya ketertarikan investor menanamkan dananya di Indonesia.

            Berdasarkan data dari BKPM ( Badan Koordinasi Penanaman Modal) terlihat bahwa  investasi di Indonesia dari tahun 2005 ke 2006 menunjukkan penurunan. Baik investasi dalam bentuk PMDN sebesar -32,25%  (tahun 2005 sebesar Rp 30,67 trilyun menjadi Rp 20,78 trilyun tahun 2006) maupun PMA sebesar – 32,88% (tahun 2005 sebesar USD 8,91 miliar menjadi USD 5,98 miliar tahun 2006), hal itu  menunjukkan bahwa masih banyaknya masalah pada kondisi investasi nasional kita. Jangankan mengundang investor asing melalui Foreign Direct Investment (Investasi Asing Langsung), investor lokalpun lebih banyak tertarik menanamkan dananya ke negara-negara tetangga kita, misalnya ke negara Singapura, Vietnam, Kamboja dan Malaysia yang lebih berhasil membangun iklim usaha yang sangat baik bagi investor.

            Padahal kita ketahui bersama, melalui investasi langsung maka beberapa masalah makroekonomi yang menjadi beban pembangunan nasional akan dapat terpecahkan. Misalnya melalui investasi langsung akan dapat dikembangkan (ekspansi) usaha yang akan dapat meningkatkan daya serap tenaga kerja, hal ini akan dapat mengurangi beban pengangguran yang terjadi. Jika tingkat penyerapan tenagakerja dapat ditingkatkan maka melalui upah dan gaji akan dapat berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat pekerja. Begitupula untuk menekan tingkat inflasi dapat dilakukan pemerintah dan pengusaha dengan meningkatkan jumlah produksi yang dihasilkan sehingga disamping dapat meningkatkan supply barang di pasar juga dapat mengurangi tekanan rendahnya daya beli konsumen. Perkembangan teknologi yang begitu cepat akan sangat membantu peningkatan hasil produksi.

            Dukungan iklim kerja yang baik melalui hubungan harmonis antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah hendaknya segera terwujud untuk mengurangi tekanan munculnya demo-demo pekerja yang dapat memicu munculnya demo yang bersifat konfrontatif. Jika sampai seringkali terjadi hubungan kemitraan yang kurang harmonis tersebut, nantinya akan dapat memberikan citra kurang baik di mata investor.  Investor baik asing ataupun lokal tentunya tidak mau kalau uang yang ditanamkannya di Indonesia tidak dapat memberikan tingkat pengembalian (return) yang menguntungkan, karena mereka juga membandingkan prospek keuntungan investasi serta kondisi investasi di beberapa negara. Persaingan merebut investor bukan lagi pekerjaan dan tanggungjawab pemerintah (pusat dan daerah) saja tetapi juga komponen masyarakat.

             Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah (Perda) serta peraturan lainnya yang kurang mendukung masuknya investor ke Indonesia dan tingkat upah yang layak bagi pekerja harus segera direvisi. Tidak dapat dipungkiri pula, era otonomi daerah telah menjadikan sebagian pemda mengeluarkan Perda baik berupa pajak ataupun retribusi yang tumpangtindih dengan peraturan di atasnya dan kurang mendukung masuknya investasi ke Indonesia. Langkah pemerintah pusat untuk penertibkan beberapa Perda yang tidak pro-investasi tentunya menjadi langkah positif bagi iklim invesatsi yang lebih kondusif di Indonesia. Paradigma memperoleh keuntungan jangka panjang lebih utama dibandingkan keuntungan jangka pendek tentunya harus dapat dipahami sebagai langkah strategis dalam mengundang investasi ke Indonesia.

            Fenomena deindustrialisasi yang kini muncul, yang lebih mementingkan perdagangan dibandingkan penanaman investasi tentunya akan dapat dieliminir dengan langkah-langkah konkrit baik dari pemerintah maupun komponen masyarakat. Pemerintah berkewajiban melalui penyediaan sarana dan prasarana, teknologi informasi, UU/peraturan yang mendukung investasi, implementasi penegakan hukum yang tegas, penciptaan keamanan, serta penghilangan ekonomi biaya tinggi. Komponen masyakarat juga dapat membantu pemerintah dengan ikut menciptakan keamanan lingkungan, sikap bersahabat menerima investasi dan investor, meningkatkan dialog dibandingkan aksi kekerasan serta menunjukkan kinerja yang produktif.

PoP dan Impulse Buying


SALAH satu karakteristik konsumen Indonesia adalah kurangnya perencanaan dalam pembelian produk, dan hal itu dapat dijadikan suatu peluang bagi penjual produk untuk dapat merayu, mempengaruhi, mengarahkan dan mendorong konsumen untuk membeli produk yang tadinya tidak direncanakannya. Pembelian produk oleh konsumen yang tanpa rencana ini sering disebut dengan impulse buying. Lokasi terjadinya impulse buying adalah di Point of Purchase (PoP), sehingga PoP perlu memperoleh perhatian serius dari penjual produk karena akan mempengaruhi keberhasilan penjualan produk melalui impulse buying tersebut.
Terdapat beberapa jenis impulse buying, diantaranya adalah: Pertama, pure impulse buying yaitu pembelian segera/tiba-tiba oleh konsumen setelah ia melihat produk yang didisplay di suatu PoP. Penataan produk yang menarik di tempat display produk sangat mempengaruhi keberhasilan penjualan produk. Produk yang mudah dilihat konsumen, ditata secara apik dan menyolok mata akan dapat mendorong konsumen mau menghampiri, mengamati, memegang, membaca informasi produk dan akhirnya membeli produk tersebut walaupun konsumen tadinya tidak memiliki rencana untuk membelinya.
Kedua, reminder impulse buying yaitu pembelian produk oleh konsumen setelah melihat suatu produk yang didisplay di suatu PoP yang kemudian berhasil mengingatkan kembali konsumen akan suatu produk karena dirinya pernah mengkonsumsinya, mengetahui produk tersebut dari iklan, atau ingat WoM (Word of Mouth) tentang produk tersebut dari orang lain. Banyaknya jenis produk di pasar sekarang ini seringkali cukup membingungkan dan telah menjejali otak konsumen sehingga konsumen justru seringkali bosan sehingga berusaha melupakan informasi produk yang begitu banyak tersebut, agar otaknya tidak pusing karena terjejali iklan produk. Nah, di PoP tersebutlah penjual produk dapat mengingatkan kembali konsumen akan keberadaan produk, fitur dan manfaat produk yang pernah diterima konsumen pada waktu lalu.
Ketiga, suggested impulse buying yaitu pembelian segera/tiba-tiba oleh konsumen setelah konsumen melihat produk yang dipajang di suatu PoP, dan konsumen terpengaruh oleh SPG (Sales Promotion Girls) atau informasi produk dari leaflet atau booklet yang ada di display tersebut. Keberhasilan mempengaruhi konsumen di PoP oleh SPG atau dari leaflet atau booklet menunjukkan arti penting sarana atau media serta isi informasi produk di PoP.
Pelatihan bagi SPG dalam penguasaan produk serta skill menjual produk menjadi sangat urgen dalam mendorong keberhasilan penjualan produk. Cara menyajikan dan isi informasi produk dalam leaflet atau booklet akan ikut mempengaruhi keberhasilan dalam menjual produk. Bahkan dalam era informasi seperti sekarang ini keberadaan “TV promo” di PoP seringkali digunakan penjual untuk melengkapi media informasi yang ada dalam memberikan sugesti kepada konsumen agar membeli produk tertentu.
Mengingat arti penting PoP sebagai tempat eksekusi dalam pembelian produk maka penjual harus dapat menata produk secara baik agar menarik mata konsumen untuk melihat, mendekati, memegang, mengamati dan kemudian membeli produk yang tadinya sama sekali tidak direncanakan dibeli. Posisi tempat display produk yang strategis, desain tempat display produk yang menarik dan menyolok mata, tata lingkungan sekitar display di suatu toko/mall/pasar swalayan yang menarik, serta keberadaan SPG yang ramah dan memahami secara baik tentang produk (jenis, fitur, dan manfaat produk) akan dapat menarik perhatian konsumen yang berkunjung ke sana dan kemudian melakukan membelian produk yang ditawarkan.

Penjualan Bundling


PENJUALAN produk dengan strategi penjualan bundling kini banyak dijumpai. Strategi penjualan bundling adalah strategi untuk menggabungkan penjualan beberapa produk menjadi satu paket penjualan. Kita dapat ambil contoh penjualan kartu perdana SMART yang bekerjasama dengan HP Nokia type 1508i atau Indosat yang menjual kartu perdana dengan fasilitas akses internet melalui paket bundling modem. Dalam industri masakan cepat saji, beberapa produk ditawarkan dalam satu paket khusus. Misal paket soto Madura dengan Teh Botol Sosro.
Tujuan penjualan melalui bundling tersebut adalah untuk meningkatkan penjualan produk dengan memberikan kemudahan prosedur pembelian, penghematan waktu, harga yang relatif lebih murah, serta nilai tambah yang lebih besar kepada konsumen. Disamping itu melalui penjualan bundling ini juga dapat menunjukkan adanya networking dan kemitraan bisnis antara produsen dari produk yang dijual bersama-sama sehingga saling memperkuat merek produk. Karena tidak semua penjualan bundling harus berasal dari satu produsen.
Untuk memperoleh keuntungan bisnis yang lebih baik maka penjualan bundling dapat dilakukan dengan cara prabayar melalui kontrak pembelian barang. Misalnya pembelian paket data Akses Axis yang menawarkan akses internet 6 GB selama setahun dengan harga bundling sebesar Rp 1,388 juta dengan paket modem 3G, Micro SD Slot, dan Micro SD card. Sehingga selama setahun Axis akan memperoleh komitmen pembelian dari konsumen. Disamping dengan cara prabayar maka produsen dapat juga melakukan dengan cara pasca bayar seperti yang dilakukan oleh Esia yang melakukan penjualan bundling HP ZTE seharga Rp. 199,000. Untuk mengoptimalkan keuntungan bisnis melalui penjualan bundling ini maka produsen produk dapat bekerjasama dengan retail untuk pemasaran produk, bank untuk pembayaran kredit, vendor untuk pemesanan melalui internet (online), dan jasa pengiriman untuk pengiriman barang.
Menurut cara pembelian produk maka penjualan bundling dapat dibedakan menjadi: (1) Bundling Alternatif yaitu penjualan produk dengan alternatif konsumen bisa memilih antara membeli keseluruhan paket atau dapat membeli produk secara terpisah. Misalnya penjualan notebook dan printer, maka konsumen dapat membeli notebook plus printer atau membeli notebook atau printer saja. (2) Bundling Murni yaitu penjualan produk dalam satu paket, konsumen harus membeli dalam satu paket utuh. Misalnya penjualan mobil dengan asuransi mobil, maka mobil harus dibeli dengan asuransinya. Sedangkan menurut keterkaitan fungsi produknya maka penjualan bundling dapat dipisahkan menjadi (1) Bundling yang terintegrasi, yaitu paket penjualan produk yang memiliki fungsi saling melengkapi sehingga manfaat yang diperoleh konsumen menjadi maksimal. Misal penjualan bundling produk PC dengan modem, webcam dan printer. (2) Bundling yang tidak terintegrasi artinya paket produk yang dijual tidak dalam satu fungsi yang terintegrasi. Misalnya sabun cuci detergen dengan shampo dan gelas minum.
Strategi penjualan bundling akan sangat tepat untuk mendongkrak penjualan bagi produk-produk yang memiliki masa kadaluwarsa produk yang cepat, produk baru yang ketat persaingannya, adanya pasar potensial cukup besar, marginal cost rendah, dan tingkat keuntungan yang tinggi. Produk baru akan lebih cepat dikenal dan naik volume penjualannya jika dijual secara bundling dengan produk yang sudah dikenal dan disukai konsumen. Keuntungan lainnya adalah produsen dapat menghemat biaya promosi karena iklan produk dapat digabungkan menjadi satu.

Pemasaran BlackBerry


PEMASARAN PDA/smartphone BlackBerry (BB) sedang menjadi sorotan banyak fihak, seiring makin pesatnya penjualannya di Indonesia. Pemasaran BB menjadi fenomena yang menarik mengingat keberhasilan PDA/smartphone ini merebut hati pengguna PDA/smartphone di tengah persaingan penjualan produk PDA/smartphone yang sangat ketat.
BB lahir tahun 2001 oleh Research In Motion (RIM) dari Ontario Canada dan masuk ke pasar Indonesia sekitar tahun 2004. Pada awalnya BB dijual melalui blackmarket karena belum ada kerjasama resmi antara RIM dengan penjual di Indonesia. RIM memanfaatkan blackmarket untuk mulai mengenalkan produk baru BB ke pengguna PDA/smartphone di Indonesia di antaranya melalui keunggulan produk dalam push e-mail.
Seiring terbukanya pasar BB maka pemasaran BB di Indonesia mulai ditata lebih baik di antaranya melalui: (a) Kerjasama dengan operator telekomunikasi Indonesia ternama (Indosat, Telkomsel, dan XL) dan pemasar PDA/smartphone. Menggandeng operator telekomunikasi Indonesia ternama dan pemasar PDA/smartphone tersebut dilakukan RIM untuk memperluas dan mempercepat peningkat penjualan serta pelayanan kepada pengguna BB. Berbagai kemudahan bagi pengguna BB diberikan oleh pemasar dan vendor. (b) Membangun community branding yang kuat di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya dan Medan. Kerjasama saling menguntungkan antara komunitas pengguna BB, pemasar dan vendor ini sengaja dibangun untuk memperkuat brand image dan meningkatkan penjualan BB. Dengan semakin banyaknya fasilitas BB yang digunakan pengguna BB maka vendor juga memperoleh keuntungan. Misalnya dari SMS, email yang dikirim serta data-data yang di unduh.
(c) Melakukan penjualan paket (bundling). Strategi penjualan BB di antaranya adalah melalui penjualan bundling pasca bayar serta perluasan penjualan melalui outlet BB. (d) Selalu menghadirkan model BB terbaru di pasar Indonesia untuk memikat konsumen dan menunjukkan selalu adanya inovasi produk. Model BB terbaru yang muncul di pasar Indonesia tahun 2008-2009 ini adalah BB Bold 9000, BB Curve 8900 dan BlackBerry Pearl Flip 8220, dengan fitur terkini di antaranya internet browser, BlackBerry Messenger, WiFi, GPS, resolusi layar yang tinggi, push e-mail, SMS, voice dan prosesor mutakhir.
(e) Memanfaatkan fenomena penggunaan BB oleh Presiden Obama untuk memperkuat brand image. Kegandrungan Obama dalam menggunakan BB dimanfaatkan secara optimal oleh pemasar BB dengan bantuan media sehingga dapat memperkuat brand image BB sebagai PDA/smartphone berkualitas, berteknologi tinggi dan disukai elite setingkat presiden AS. Seorang eksekutif dari agen periklanan Arnold Worldwide yaitu Fran Kelly, berani memperkirakan endorsement yang secara tidak langsung dilakukan oleh Obama bernilai sedikitnya US$ 25 juta. Bahkan ada yang memberikan nilai yang lebih tinggi dari Fran Kelly yaitu mencapai US$ 50 juta, karena endorsement Obama tersebar di seluruh dunia.
(f) Memperluas pangsa pasar dari kelompok korporat ke individual. Awalnya BB membidik kelompok korporat (bisnis) sebagai pasar sasaran utama pengguna BB tetapi seiring dengan terbukanya peluang pasar, perkembangan penjualan BB mengalami pergeseran yang signifikan. Kini pengguna PDA/smartphone BB di Indonesia justru didominasi oleh pengguna individual, dengan persentase penjualan BB ke kelompok individual sekitar 70% sedangkan ke kelompok korporat (bisnis) hanya sekitar 30%.
g) Menjadikan BB life style bagi penggunanya. Seiring makin meluasnya pengguna BB maka produsen kemudian berusaha menjadikan BB sebagai life style baru yang akan memberikan nilai tambah bagi penggunanya sebagai manusia modern dengan gaya hidup dinamis yang memiliki jejaring kuat dan luas, serta selalu memiliki informasi terbaru.

Challenger Brand

MENGAMATI ‘pertempuran’ produk antara leader brand dan challenger brand sangat menarik. Andaikan diibaratkan penguasa suatu daerah maka perebutan daerah kekuasaan leader brand oleh chalenger brand penuh dengan ‘gerakan’ baik pengintaian, penyusupan,dan kadang-kadang ‘pertempuran’ yang kesemuanya dalam lingkup taktik dan strategi pemasaran. Sebagai contoh kita bisa lihat kasus ‘pertempuran’ merek LG atau Samsung LCD melawan Toshiba, Mie Sedaap (Wings food) melawan Indomie (Indofood), atau Blackberry (RIM) melawan Communicator (Nokia).
Memang sebagai challenger brand memiliki tugas berat untuk dapat merebut daerah kekuasaan leader brand agar dapat menjadi daerah baru bagi pemasaran produknya. Challenger brand harus secara cermat dapat mengukur diri dan mengukur kekuatan lawan dalam menerapkan strategi pemasarannya, apakah dengan cara gerilya atau justru berani secara head to head dengan leader brand. Sekali challenger brand salah menentukan strategi pemasaran maka pupuslah harapan merebut daerah pemasaran leader brand.
Tetapi tidak ada kekuatan yang mutlak dari leader brand! Ini harus diyakini oleh manajemen bisnis challenger brand agar ia tetap memiliki motivasi kuat untuk ‘berani’ merebut daerah lawan dan melakukan penetrasi pemasaran produk. Kekuatan leader brand yang terkesan tiada tanding seringkali justru membuka peluang walaupun kecil karena kelengahannya menjaga daerah kekuasaannya.
Adapan langkah yang dapat dilakukan oleh manajemen challenger brand adalah: Pertama, identifikasi melalui SWOT Analysis untuk menentukan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, serta peluang dan tantangan yang dihadapi.Kekuatan ini diantaranya keunggulan produk ataupun sumberdaya perusahaan yang dapat dimanfaatkan untuk dapat mengalahkan leader brand dengan ‘menggerogoti’ daerah pemasarannya. Kelemahan perusahaan harus semaksimal mungkin dihindari dengan cara tidak secara langsung berhadapan dengan leader brand. Peluang yang terbuka karena kelemahan leader brand harus dicari secara cermat dan ditentukan taktik meraih peluang tersebut. Misalnya peluang yang muncul dari daerah pemasaran yang terbuka atau bahkan belum disentuh oleh leader brand dapat dijadikan starting point bagi challenger brand untuk mulai ‘masuk dan menguasai’ daerah tersebut. Tantangan yang harus dihadapi karena adanya peluang harus dapat dipenuhi oleh sumberdaya yang ada, baik berupa kekuatan produk (misalnya manfaat dan fitur yang lebih banyak, kualitas yang lebih baik) sehingga konsumen dapat memperoleh nilai yang lebih tinggi dari mengkonsumsi produk dari challenger brand.
Kedua, berusaha menggeser bahkan mengubah top of mind konsumen dari leader brand. Sebagai merek yang menguasai pasar, bukan tugas mudah bagi manajemen bisnis untuk menggeser bahkan mengubah top of mind merek bersangkutan dari benak konsumen. Tetapi dengan keyakinan tinggi dan berdasarkan strategi pemasaran yang dihasilkan melalui SWOT Analysis akan dapat ditentukan taktik-taktik pemasaran yang jitu. Kejenuhan pasar karena adanya penguasaan yang lama dapat menjadi suatu kondisi untuk memasuki pasar dengan memberikan image bahwa produk ‘baru’ yang ditawarkan challenger brand lebih fresh, inovatif, harga kompetitif, kualitas tinggi, manfaat yang lebih banyak, manfaat yang instan (manfaat lebih cepat dapat dirasakan), serta dukungan distribusi yang lebih baik.
Ketiga, manejemen bisnis challenger brand harus dapat menyiapkan ‘kekuatan’ untuk bertempur dalam jangka panjang.Ibarat pelari marathon maka manajemen bisnis challenger brand harus dapat mengatur nafas dan langkahnya sehingga tercipta ‘irama perang’ yang baik agar tidak kehabisan nafas ketika bertempur melawan leader brand dalam jangka panjang. Perencanaan bisnis yang cermat dengan skedul waktu dan target yang tidak terlalu muluk akan dapat memberikan arah yang lebih realistis dalam mengejar dan meraih target pemasaran.

About this blog

Labels